Â
‘’Sejak tahun 1970 saya sudah ngajar ngaji. Rumah saya semakin sempit, karena yang ngaji tambah banyak. Lalu saya buat mushala 6x6 meter. Lama-lama tidak cukup juga. Saya buat lagi ukuran 6x18. Eh, lama-lama jadi sempit dan rusak juga,’’ papar suami dari Ny Nyai Wastia.
Santri Al Hidayah yang jumlahnya lebih 100 anak, tidak dipungut biaya apapun. Paling-paling orangtua mereka yang hampir semuanya dhuafa, membawa sembako setahun sekali untuk khataman.
Pagi sampai siang, anak-anak Al Hidayah bersekolah umum di SD hingga SMA. Sore baru ngaji hingga pukul 21.00 WIB. ‘’Dari maghrib sampai jam 6 pagi, gerbang saya kunci biar santri tidak keluyuran. Maklum, di sini masih banyak dangdutan dan organ tunggal,’’ kata Kyai Mus yang 6 dari 7 anaknya sudah sarjana. Ada juga beberapa anak yang benar-benar tak mampu melanjutkan sekolah selepas SD, sehingga mereka mondok dan nyantri saja di Al Hidayah.
Lima tahun silam, akibat angin puting beliung, bangunan kelas Al Hidayah sempat ambruk sebagian. ‘’Alhamdulillah, yang ambruk kami tekadkan bangun kembali dengan dana bantuan dari PPPA Daarul Qur’an Rp 10 juta,’’ kenang Kyai Mus.
PPPA Daqu juga menghadirkan Perpustakaan di sini. Tak hanya dana awal pembangunan, PPPA Daqu juga memberi resep kepada Kyai Mus untuk mengoptimalkan kehebatan sedekah. Sedekah, buat keluarga Kyai Mus, bukan perkara asing. Untuk menghidupi Al Hidayah, Pak Kyai menyisihkan sebagian hasil usaha penggilingan padi milik keluarganya. Sawah 2 bahu miliknya disewakan, hasilnya 10% bagian panen, digunakan untuk makan warga pesantren.
Dengan bekal sedekah dan riyadhoh, kini lokal Al Hidayah sudah ditembok dan dikeramik. ‘’Pembangunan menghabiskan dana sekitar 250 juta. Duitnya dari mana saja, itu Allah yang ngatur.
Saya tidak nyangka-nyangka,’’ ungkap Kyai Mus. Tahun ini, untuk keempat kalinya Al Hidayah menjadi mitra Program QUIS PPPA Daqu. ‘’Tahun lalu kami memelihara 200 ekor kambing Eksport.
