Menjadi Pak Ogah di pertigaan Jl Pasirjaya, Rt 01/04, sudah menjadi rutinitas Urip. Tak hanya itu, pria usia 55 tahun itu juga berjualan bensin eceran seharga Rp 8000 per liter.
"Masih ada besin, pak?"
"Yaaa, masih ada mau berapa liter," jawab.
Keuntungan yang selama ini ia dapatkan, diperuntukkan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ia mengatakan, selain dari untung menjual bensin, seringkali tetangganya memberikan nasi dan lauknya untuknya makan.
"Saya juga suka masak sendiri, masak apa saja yang ada di rumah. Yang penting ada nasinya," ungkap putra ke tiga dari enam bersaudara itu.
Pria yang telah berdiam di daerah Tanggerang sejak 1970 silam itu mengakui, pernah menikah sekali dan tidak dikaruniai anak. Namun, berpisah pada 2000 lalu lantaran penyakit yang dideritanya. Ia pun, memilih memisahkan diri dari keluarga sejak benjolan-benjolan itu mulai tumbuh, karena tidak ingin mereporkan keluarganya.
Menurut cerita yang disampaikannya, benjolan-benjolan itu mulai tumbuh saat usianya 18 tahun. Ia menuturkan, awalnya hanya benjolan-benjolan kecil seperti bintik-bintik, namun seiring waktu terus tumbuh menyerupai kutil. Kini, benjolan itu membesar dan tumbuh 90 % disekujur tubuhnya, tidak hanya di badan, tangan dan kaki saja, tetapi merata hingga kepalanya. Telapak kakinya pun mulai tumbuh benjolah-bejolan kecuali di telapak tangannya.
"Alhamdulillah, saya tak pernah merasa sakit, panas atau yang lainnya. Seperti biasa saja, makan biasa, tidur pun biasa," jelasnya.
Ia pun tak terlalu memusingkan perkataan orang lain tentang dirinya. "Saya hidup apa adanya yang Allah kasih ke saya. Karena, tak ada yang bisa saya lakukan selain bersyukur, biarlah orang lain berkata apa."
Ia menuturkan, pernah suatu kali akan dirawat di RSCM, Jakarta atas bantuan warga setempat. Namun, karena tidak ada keluarga yang ingin menemaninya, ia urungkan keinginan itu.
Di dalam rumah sederhana seluas 2x4 meter itu, ia mengungkapkan harapnya, bisa sehat, sembuh seperti orang lain. Namun, apa dayanya, dapat terpenuhi kebutuhan sehari-hari saja sudah sangat bersyukur.
Meskipun ia berbeda dan seringkali dipandang sebelah mata, ia tak pernah meninggal sholat dan silaturahmi dengan saudara serta tetangga. Ia pun mengungkapkan, keinginannya untuk bisa mengaji, tapi tak ada yang mengajarkan sejak kecil.
"Jadi, kalau sholat baca yang saya ingat saja, seperti Qulhu," ungkapnya.
Alhamdulillah, kepedulian antar sesama membawa donatur PPPA Daarul Qur'an untuk berbagi kebahagiaan melalui program Senyum Mustahik. Dengan harap, dapat membantu meringankan biaya berobat dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.