Zakat Sedekah Wakaf
×
Masuk
Daftar
×

Menu

Home Tentang Kami Program Laporan Mitra Kami Kabar Daqu Sedekah Barang

Mulai #CeritaBaik Kamu Sekarang

Rekening Zakat Rekening Sedekah Rekening Wakaf

Alamat

Graha Daarul Qur'an
Kawasan Bisnis CBD Ciledug Blok A3 No.21
Jl. Hos Cokroaminoto
Karang Tengah - Tangerang 15157 List kantor cabang

Bantuan

Call Center : 021 7345 3000
SMS/WA Center : 0817 019 8828
Email Center : layanan@pppa.id

Mencetak Generasi Qur'ani di Pelosok Kulonprogo

21 July 2017
Image

Perjalanan sekitar 90 menit dari pusat kota Jogja, menembus hutan-hutan jati ataupun kebun kosong tak berpenghuni. Menyusuri jalanan sepanjang rel kereta api jurusan Jakarta, lalu menyeberang tepat di depan sebuah pasar tradisional di daerah Temon, Kulonprogo.

Jalanan terus menanjak. Sepi. Hanya sesekali berpapasan dengan sepeda motor lain atau mobil. Udara yang dingin menerpakan aroma dedaunan dan mendung yang hampir jatuh.

Tepat di tengah perbukitan kapur itu, di balik pusat kota kecamatan Kokap, Kulonprogo, berdirilah sebuah Rumah Tahfidz.

Rumah Tahfidz Nurul Qur'an namanya. Berdiri sejak tujuh tahun silam, tempat ini telah melahirkan generasi baru para penghafal Qur'an. Rumah tahfidz ini juga telah menjadi berkah bagi banyak masyarakat. Mereka yang awam agama, kini setidaknya terputus dengan anak-anak mereka yang belajar mengaji, bahkan menghafal Qur’an.

Seorang wanita kepala tiga, ia sedang duduk menyimak bacaan Al-Qur'an para santri. Dibalut jilbab berwarna merah muda, wajahnya tegas diliputi senyum nan menyejukkan. Sambil menyimak, sesekali ia berbincang pada gadis kecilnya yang tengah bermain-main di sekitarnya.

Ialah Ustadzah Mujiasih. Bersama suaminya, Ustadz Nur Wakhid, mereka mengelola sebuah rumah tahfidz sejak 2010.

Sekembali dari berdakwah di Makassar hampir sepuluh tahun, mereka kembali ke daerah asal di pelosok Kulonprogo. Alumnus sebuah pondok pesantren di Jogja itu bertekad untuk berdakwah pula di kampungnya sendiri.

Pengalaman Dakwah di Makassar

Tinggal di Makassar sebagai pendakwah tentunya bukan hal mudah bagi Mujiasih. Tahun 2000, kondisi tanpa listrik, terbelakang, pelosok dan tinggal bersama orang-orang konflik dari Ambon, Timor-Timur, dan Aceh merupakan tantangan tersendiri.

Sebagai pengantin baru kala itu, tentu banyak yang belum diketahuinya tentang bermasyarakat, apalagi masyarakat yang dihadapinya "tidak biasa". Tapi satu hal yang selalu diterapkannya, tekad untuk berdakwah, menyampaikan kebaikan dengan cara yang baik.

" Satu hal, kalau kita itu tulus, mereka juga akan sangat menghargai kita.", ungkapnya sambil tersenyum haru mengingat perjuangannya berdakwah.

Banyak kisah berkesan dari sana. Soal salah satu masyarakatnya yang bahkan belum bisa mengucap “Assalamu’alaikum” dengan logat yang lebih terdengar “Salakum”. Atau tentang bapak-bapak yang tiba-tiba menghantar dua sampai tiga ekor ayam hidup untuk menu sahur saat Ramadhan.

“Kami juga heran, kami sering sekali menyembelih ayam padahal ndak pelihara ayam.”, kisah Mujiasih sembari berkelakar.

Setelah banyak masyarakat yang berhasil dikaderisasi untuk melanjutkan dakwahnya, tahun 2010 Mujiasih dan suami juga seorang putrinya kembali ke Jawa.

**

Kini ia fokus dengan rumah tahfidznya. Satu hal yang ia harapkan, anak-anak Kokap dan sekitarnya bisa memiliki bekal agama yang baik.

Santri-santrinya semakin banyak. Hafalan mereka pun bermacam-macam. Ada yang sudah 5 juz, 10 juz, 12 juz, 20 juz, bahkan lebih.

Satu hal yang ia harapkan, semoga pahala jariyah itu mengalir untuknya dan suami. Berharap agar kelak Qur'an menjadi penolong di hari akhir yang serba mendebarkan.

Kesungguhan keduanya mengelola rumah tahfidz juga terdengar sampai kota-kota lain. Tak terduga pula, santri-satrinya di Makassar juga mengirimkan anak-anak mereka ke Kokap untuk belajar menghafal AL-Quran.

Dari sekian banyak santrinya yang terbilang sukses dalam menghafal, ada rasa sedih tatkala santrinya harus ada yang keluar dari rumah tahfidz karena lanjut kuliah di Jogja atau kota-kota lain. Ada kekhawatiran mengenai hafalan yang sudah mereka ikhtiarkan.

“Kalau begini kan namanya alamiah ya, ya mau bagaimana lagi. Tapi mereka akan tetap lanjut di pondok lain...”, ulas Ustadz Nur Wakhid, suami Mujiasih, disela hela nafas.

Bagaimanapun, kehadiran rumah tahfidz di pelosok Kulonprogo ini telah menghadirkan keberkahan. Melalui anak-anak yang datang mengaji bahkan “nyantri” di sana, semoga dakwahnya tersampaikan pada orang-orangtua mereka.

Semoga ikhtiar Mujiasih dan suaminya dalam mendawamkan Qur’an selalu diberi kemudahan oleh Allah SWT. Agar istiqomah dalam dakwah mencetak para generasi Qur’ani. InsyaAllah.R88;R88;R88;R88;



Nikmati kemudahan informasi terkait program-program Daarul Qur'an melalui email anda